Total Pageviews

3/04/2012


PERBEDAAN  ITU INDAH
“ah lu jangan gitu dong”
“gue gak mau”
“aku lagi makan”
“kamu sekarang dimana?”.
Seberapa sering anda mendengar kata-kata itu? Hampir setiap hari? Apa anda dapat menilai dimana letak perbedaan mendasar dari beberapa kalimat diatas? Kalau anda menilai itu sama-sama bahasa sehari-hari memang tidak salah. Tapi apakah anda tahu jika beberapa kalimat diatas mengandung sesuatu yang sangat mendasar?
Tuuuuttt.....tuuutttt....tuuuuuttttt.... Terdengar cukup keras suara kereta api di pagi hari Stasiun Tugu Yogyakarta. Pagi itu sedang turun rintik hujan, memang sejak kemarin sore cuaca Yogyakarta diguyur hujan. Terlihat seorang anak lelaki sedang duduk di ruang tunggu peron stasiun. Ya, dia Ardi. Seorang remaja Kota Yogya yang ingin menuntut ilmu di Jakarta. Tekadnya begitu kuat hingga ia rela meninggalkan tanah yang telah membesarkannya itu.
Setelah 8 jam berada di dalam kereta, sampailah ia di Stasiun Jatinegara, Jakarta. Ia menatap langit Jakarta yang begitu cerah dibanding dengan Yogya saat ia berangkat tadi. Besar harapannya semoga ini menjadi pertanda baik akan leberhasilannya menuntut ilmu di ibu kota. Mungkin anda tahu bagaimana tabiat atau sifat orang rantau yang baru datang ke Jakarta, ibarat seekor anak kucing yang dilepas ibunya di tempat yang belum ia kenal. Jadi sudah tak perlu di jelaskan lagi bagaimana sifat bawaan Ardi dari Yogya yang akan beradaptasi dengan sifat orang ibu kota.

Sudah menjadi kebiasaan orang Jakarta menggunakan bahasa pergaulannya dengan begitu bebas kepada siapa saja. Ada sebagian orang yang menggunakan bahasa pergaulannya kepada orang yang lebih tua, teman akrab, saudara, dan lainnya. Mereka menanggap kata seperti, “lu”, “gua”, dan semacamnya merupakan bahasa yang wajar. Sedang kata seperti, “aku, “kamu”, “saya”, dan sebagainya mereka anggap bahasa yang sedikit ‘aneh’. Bahkan ada yang mengatakan itu ‘bahasa mesra’
Seiring dengan berjalannya waktu, Ardi berusaha beradaptasi dengan lingkungannya, walaupun teman-temannya terbiasa menggunakan “lu – gua”, Ardi tetap berpegang teguh pada kesopanan bahasa yang ia pegang. Beberapa temannya menerima itu dengan biasa saja, menganggap jika bahasa yang digunakan Ardi seperti “aku – kamu – saya”, adalah bahasa yang wajar dan tidak melanggar kaidah apapun dalam kebahasaan.
Pernah suatu ketika, Dimas seorang temannya agak risih mendengar ucapan Ardi dengan menggunakan kata-kata “aku – kamu – saya” kepada kekasih Dimas. Dimas yang sejak kecil terbiasa bergaul dengan kata-kata lazimnya orang Jakarta menggunakan, agak sedikit tersulut emosinya. Padahal, Ardi tidak ada maksud apa-apa menggunakan bahasa itu kepada kekasih Dimas. Mungkin disini Dimas berpandangan bahwa kata-kata “aku – kamu- saya” adalah ‘bahasa mesra’. Disini terlihat jelas perbedaan pandangan orang yang sudah tinggal begitu lama di Jakarta dengan seorang perantau dari luar kota. Bayangkan saja, niat Ardi hanyalah menghormati orang yang ia ajak bicara, di salah tanggapi oleh Dimas. Mungkin Dimas, di lingkungan rumah dan teman bergaulnya tidak ada orang rantau yang menggunakan ‘bahasa mesra’ dalam percakapan sehari-hari. Bukankah kita diciptakan oleh Allah dengan berbagai ragam suku, ras, budaya, bahasa, agama, dan sifat berbeda-beda? Jika memang demikian tentunya Dimas yang sudah bukan anak kecil lagi dapat menerima perbedaan mendasar itu. Ada anggapan itu hanya kesalahpahaman. Kita dapat menilai kesalahpahaman ketika orang satu dengan yang lainnya tidak terbuka dalam menerima perbedaan yang mendasar.

Perbedaan Ardi dan Dimas diatas tidak dapat ditentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Keduanya menggunakan bahasa yang digunakan lazimnya oleh orang Indonesia. Tapi jika menilai dari segi kesopanan, tata kaidah bahasa yang dinilai baik oleh masyarakat tentunya anda sudah pasti tahu bahasa mana yang lebih baik.
Perbedaan latar belakang budaya janganlah dijadikan ajang permusuhan. Jika anda pikir lebih jauh bukankah perbedaan itu indah? Sedikit contoh, coba anda pikir jika di dunia ini semua wanita atau pria tercipta dengan kulit dan wajah yang sama, bagaimana? Atau yang lebih ringan contohnya, bagaimana jika dalam satu keluarga raut wajah dan dan sifat anggota keluarga tersebut sama sekali tidak ada bedanya? Sungguh keadaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata jika hal-hal tersebut diatas menjadi sebuah kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kita jangan pernah berhenti belajar untuk memahami dan menghargai perbedaan yang dibawa oleh orang lain. Perbedaan itu diciptakan untuk mengindahkan dunia dan bukan untuk saling salah paham. Ardi telah menjadikan segala perbedaan yang dia alami dalam hidupnya sebagai guru pembimbing. “Jika anda ingin dihargai, hargai dulu orang lain. Dan jika anda ingin dihormati, hormati dulu orang lain”.